Ada hal yang menarik bila kita mencermati rencana yang akan dilakukan oleh Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti ) M. Nasir, sebagaimana yang diberitakan di salah satu harian umum, (15/10) yang lalu. Dikatakan bahwa sejumlah guru besar asing akan di datangkan ke tanah air sebagai langkah awal untuk bisa mendorong Perguruan Tinggi Indonesia masuk di ranking dunia. Tahap pertama nanti diproyeksikan sekitar 200-500 guru besar asing di datangkan dari mancanegara, yaitu Amerika Serikat, Jerman, Belanda, Inggris, Australia, Jepang, dan Korea Selatan.
Bukan hal yang cukup mengejutkan bila langkah ini diambil oleh Menristekdikti mengingat untuk ukuran kota besar seperti di Jakarta dan beberapa kota yang ada di Pulau Jawa, beberapa Perguruan Tinggi (PT) memang mempekerjakan beberapa tenaga pendidik (dosen) asing. Sebut saja LSPR (London School of Public Relation) di Jakarta, yang memiliki beberapa dosen impor langsung dari Jerman dan Inggris serta beberapa negara Asia lainnya.
Berdasarkan total persebaran jumlah guru besar yang berada di Indonesia, DKI Jakarta sendiri memiliki 377 guru besar (gubes), Jawa Barat dan Banten 134 gubes, Jogjakarta 55 gubes, Jawa Tengah 90 gubes, dan Jawa Timur 193 gubes. Artinya selain DKI Jakarta, untuk hitungan di Pulau Jawa saja sudah mencapai 472 gubes. Bandingkan dengan jumlah gubes yang berada di Nusra Bali yang hanya terhitung 24 orang gubes.
Hal yang perlu dicermati adalah bahwa Perguruan Tinggi Indonesia bukan hanya berada di DKI Jakarta dan Pulau Jawa saja. Perguruan Tinggi-pun juga bukan hanya Perguruan Tinggi Negeri namun juga terdapatPerguruan Tinggi Swasta, sehingga alangkah bijaksananya bila pemerintah juga memperhatikan sejumlah PT baik negeri maupun swasta yang berada di luar Pulau Jawa, serta memperhatikan juga kelas akreditasinya.
Permasalahan yang terjadi di PT berakreditasi A tentu berbeda dengan permasalahan yang terjadi di PT berakreditasi B dan C. Oleh karenanya langkah pembenahan yang dilakukan juga tidak bisa dipukul rata. Dalam suatu perbincangan di salah satu stasiun televisi swasta nasional beberapa hari yang lalu mengenai proyeksi Peguruan Tinggi Indonesia di masa depan, Pemerintah dalam hal ini Menristekdikti juga menyadari bahwa terdapat dua permasalahan utama yang terjadi di PT yang masih berakreditasi B dan C. Yang pertama adalah permasalahan dosen, dan yang kedua adalah permasalahan fasilitas dan infrastruktur.
Bagaimana pemerintah bisa menjawab kedua permasalahan tersebut? Tidak dipungkiri bahwa angka kesejahteraan dosen yang berada di wilayah Indonesia barat khususnya DKI Jakarta dan di Pulau Jawa cukup baik dan menjanjikan. Namun ceritanya akan tergradasi menjadi abuapabilamaping-nya semakin menggeser ke arah timur. Sehingga memang dapat dilihat bahwa angka kesejahteraan dan tingkat pendapatan dosen di wilayah barat dan timur memiliki perbedaan yang cukup signifikan.
Selain daripada itu, fasilitas dan infrastuktur yang terdapat di PT berakreditasi B dan C juga harus mendapat perhatian dan penanganan serius dari pemerintah. Bila keinginan mewujudkan Indonesia sebagai perguruan tinggi kelas dunia ingin tercapai, maka perhatian terhadap pemerataan bantuan juga harus tepat sasaran.
Salah satu hal yang dinilai sangat masuk akal adalah distribusi profesi dosen untuk masuk ke daerah-daerah memiliki motivasi yang relatif kecil dibandingkan di kota besar. Karena memang sampai saat ini diakui, bahwa dosen yang berada di daerah diharapkan untuk tidak sepenuhnya melihat potensi financial income yang dapat mereka terima, namun yang perlu dilihat adalah bagaimana mereka dapat memaksimalkan potensi sumber daya yang ada menjadi suatu peluang yang menjanjikan bila mereka terjun di PT wilayah timur Indonesia.
Pada beberapa waktu yang lalu kami pernah menyampaikan, bahwa diperlukan kompetensi yang mumpuni agar para dosen dapat bersaing di kancah ASEAN. Dosen seyogyanya tidak hanya mampu untuk berteori secara kontekstual namun juga harus memiliki kemampuan dan basicsebagai seorang praktisi dibidangnya. Rangkaian proses rekrutmen dosenpun sebaiknya mulai diperhatikan. Bukan hanya mengandalkan Permendikbud RI No. 49 tahun 2014 mengenai standar dosen dan tenaga kependidikan saja, namun juga melalui seleksi kemampuan dan pengalaman profesionalnya sebagai praktisi-pun juga harus diperhatikan. Hal inidikarenakan dosen merupakan detak nadi dalam perguruan tinggi. Kualitas pendidikan dan hasil output lulusan perguruan tinggi tentu ditentukan dari hasil kegiatan belajar-mengajarnya.
Semakin baik input dan prosesnya maka output yang dikeluarkanpun semakin berkualitas sehingga dapat mencetak sumber daya manusia yang berkompeten dan berkelas. Hal ini tentu saja akan sejalan dengan nama baik perguruan tinggi tersebut.
Perlu diingat, output dihasilkan dari input dan serangkaian proses. Artinya sehebat dan seberkelas apapun dosen tersebut namun apabila tidak dibarengi dengan sarana dan fasilitas penunjang pendidikan yang memadai, maka tidak perlu heran bila kualitas hasilnya juga kurang maksimal. Sehingga baik visi, misi, maupun tujuan dari perguruan tinggi tersebut akan sulit tercapai.
Kembali ke persoalan “impor” guru besar tersebut, bila dicermati jumlah keseluruhan guru besar yang ada di DKI Jakarta dan Pulau Jawa sudah mencapai 849 orang, keseluruhan total guru besar yang ada di Indonesia baik dari PTNdan PTS adalah sebanyak 5.097 orang.
Berdasarkan data di atas sebenarnya jumlah gubes yang ada di Indonesia sudah cukup baik walaupun dirasa kurang, karena pemerataannya memang belum terlihat dan masih terkonsentrasi di DKI Jakarta dan Pulau Jawa saja. Apabila para guru besar ini dapat difungsikan serta dikelola dengan baik oleh pemerintah untukmenjalankan pemerataan edukasi kepada beberapa perguruan tinggi di daerah yang dianggap “tertinggal” mutunya,maka setiap perguruan tinggi tersebut dapat saling berinteraksi, saling mengevaluasi, brainstorming dan memacu kualitas pendidikan perguruan tingginya satu sama lain. Terlebih apabila beberapa gubes berasal dari perguruan tinggi yang sudah bekerjasama dengan beberapa perguruan tinggi luar negeri. Tentu masing-masing perguruan tinggi yang diwakili oleh para gubesnya dapat saling bertukar informasi. Sehingga bukan tidak mungkin upaya sadar peningkatan kualitas pendidikan dapat berjalan dengan baik.
Selain itu perlu adanya upaya pemerintah untuk terus menstimulus para dosen agar mereka tidak berjalan ditempat. Artinya perlu adanya serangkaian kemudahan baik bantuan dan fasilitas untuk mencapai gelar “Guru Besar”. Kemudahan memperoleh bantuan beasiswa untuk melanjutkan studi kejenjang S3 baik di dalam negeri dan terlebih bantuan beasiswa keluar negeri. Hal ini selain dimaksudkan untuk meningkatkan kuantitas gubes di Indonesia juga meningkatkan kualitas gubes dengan konsep akademis yang terbarukan.
Kebijakan impor guru besar yang akan dilakukan oleh Menristekdikti sebaiknya disikapi secara bijak. Sama halnya dengan langkah Menpora beberapa tahun lalu yang ketika itu banyak menaturalisasi pemain sepak bola asing dengan harapan agar bisa memajukan timnas senior sepak bola Indonesia. Namun kenyataannya, timnas tetap berjalan di tempat dan tidak dapat memenangkan kompetisi tingkat ASEAN. Bukan pemainnya yang menjadi pertanyaan, namun bagaimana manajemen menerapkan serangkaian kebijakan yang kurang tepat didalam tubuh organisasinya.
Memang tidak semua Perguruan Tinggi akan “disulap” bertaraf dunia, hanya perguruan tinggi yang memenuhi seleksi dari Kemenristekdikti saja yang akan dilibatkan. Menurut kami, alangkah baiknya apabila alokasi dana yang digelontorkan pemerintah untuk mendatangkan dan membayar kinerja hingga lebih dari 500 guru besar asing ditahap awal dan tahap-tahap berikutnya dapat juga dialokasikan untuk membantu perguruan tinggi berakreditasi B dan C, yang dianggap memiliki potensi perkembangan yang dinamis untukmembenahi fasilitas dan infrastrukturnya yang kurang memadai. Perguruan Tinggi yang berpotensi ini tentu dapat dipantau, dan disortir melalui pemeringkatan yang dikeluarkan oleh Ristekdikti dalam skala nasional maupun tingkat provinsi.
Sedangkan peningkatan kualitas dosen dapat dilakukan dengan cara yang telah disebutkan di atas baik dengan proses rekrutmen sesuai dengan kompetensi profesional yang dimiliki, memaksimalkan potensi SDM yang ada melalui peningkatan skill, rangkaian rangsangan pemberdayaan dan kesejahteraan, serta melalui kunjungan dan pengabdian para guru besar tanah air untuk saling bertukar pikiran sebagai wahana rangsangan pengembangan pendidikan di Perguruan Tinggi di beberapa daerah secara merata.
Sehingga diharapkan bahwa upaya peningkatan akreditasi setiap perguruan tinggi bukan hanya berganti “plang papan nama” dengan meningkatnya gelar akreditasi perguruan tinggi dari C menjadi B, dan B menjadi A. Namun peningkatan akreditasi harus sejalan dengan kualitas pendidikan yang memenuhi standar. Terlebih apabila mewujudkan cita-cita luhur untuk mendapatkan pengakuan internasional, “Indonesia sebagai Perguruan Tinggi Berkelas Dunia.” Semoga.
Oleh: Ahmad Bairizki, SE., MM. (Kabag Humas & Dosen STIE AMM Mataram)